Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya
itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud.
Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja
menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat
menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak
kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu,
Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah
lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan
keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari
terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun.
Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya
yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil,
maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya,
tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia
terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan
bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat
apa.

Puteri yang malang itu pun pergi
sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat
menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan
dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan
mendampinginya dalam menanggung penderitaan..
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia
berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang
samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya
yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang.
Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat
terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah
kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada
sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah
seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi
Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.
Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad
ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu
dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda
yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa
yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida,
menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk
bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan
menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika
keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat
Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Generasi selanjutnya, Panembahan
Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai
Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan
kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian
Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari
dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan
intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari
Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul
dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan
sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui
perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.
Begitulah dua buah kisah atau legenda
mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai
Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta
dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita
tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu
pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di
atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.
Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang
Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan?
Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada
mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta.
Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng
Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari
polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul
memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta.
Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling
tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu
Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di
antara keduanya?
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul
Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi
yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup.
Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka
memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal
balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan
yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun
sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka
Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung
Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan.
Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu
Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan
untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam
masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan
“makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa
berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin
dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat
oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan
sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini
diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah
upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan
Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono,
menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk
kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul
juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang
diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti
lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari
(Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai
tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul
tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja,
tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu
buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai
Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang
Ratu.
Selain
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga
diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad
Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji
kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk
menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat
dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta)
memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya
Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk
penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah
pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang
diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para
raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional
pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi
susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam
wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata
juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar,
bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach
Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun
yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi
harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang
Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang
dipakai oleh mantan presiden Soekarno.
Sampai sekarang, di masa yang sangat
modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu
Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika
anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain
mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan
pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah
menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis
Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan
dalam sebuah lukisan.
sumber;https://indotim.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar